Jumat, 27 April 2012

TAYAMUM

KAJIAN KITAB FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-
======================================================
http://www.youtube.com/watch?v=ocd0u3EG8f0
Para Imam Mazhab sepakat bahwa tayamum adalah dengan tanah yang suci, ketika tidak ada air atau  ada air, tetapi takut menggunakannya. 

Namun, mereka berbeda pendapat tentang hakikat ash-sha’id. 
  • Syafi’i dan Hambali; ash-sh’id adalah at-turab atau tanah. Oleh karena itu, tidak boleh tayamum kecuali dengan air yang suci atau dengan pasir berdebu.  
  • Hanafi dan Maliki ash-sha’id adalah al-ardh atau tanah. Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu.  
  • Maliki menambahkan; boleh bertanyamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
Syarat tawamum harus  mencari air ?
  • Syafi'i dan Maliki; mencari air terlebih dahulu merupakan syarat dibolehkan bertayamum. 
  • Hanafi; mencari air tidak disyaratkan. 
  • Hambali; wajib mencari air.
Para imam madzhab sepakat bahwa orang junub boleh bertayamum seperti orang yang berhadats kecil. Musafir yang memiliki air sedikit dan takut kehausan boleh menyimpan air tersebut untuk minum, lalu ia bertayamum.
Sampai mana mengusap tangan dalam tayamum ?
  • Hanafi dan qoul jadid syafi'i; mengusap kedua tangan dalam tayamum adalah sampai siku. 
  • Malik dan Hambali; mengusap sampai ke siku adalah mustahab (sunnah), sedangkan sampai ke pergelangan tangan adalah wajib. 
  • diriwayatkan dari az-Zuhri, mengusap tangan samapai ke ketiak.
4 imam sepakat bahwa seseorang  yang berhadats bertanyamum, lalu mendapatkan air sebelum sholat, maka tayamumnya batal dan bersegera bersuci dengan air tsb.
ada perbedaan; 
kalo sudah/sedang  menunaikan sholat ?
  • Syafi'i; jika sholat itu termasuk sholat yang dpat gugur kewajibannya karena tayamum, seperti sholatnya para musafir, maka solatnya tidak batal. ia boleh meneruskan sholatnya, tetapi menghentikan sholat kemudian berwudhu untuk sholat adalah lebih baik. 
  • Malik; ia boleh meneruskan sholatnya, tidak perlu digugurkan, dan sah sholatnya. 
  • Hanafi; tayamumnya batal dan wajib keluar dari sholat untuk berwudhu, kecuali kalau sholat tsb adalah sholat hari raya dan sholat jenazah. 
  •  Hambali; tayamumnya batal secara mutlak.
4 imam sepakat bahwa bila seseorang melihat air setelah usai sholat maka tidak wajib mengulang sholatnya kendati waktu masih ada.

Tayamum dapat menghilangkan hadats ?
  • Syafi'i, Maliki, Hambali; tayamum tidak dapat menghilangkan hadats, melainkan hanya sekedar pengganti wudhu karena ketiadaan air. 
  • Hanafi; Tayamum dapat menghilangkan hadats.
  • Dawud; tayamum dapat menghilangkan hadats (pendapat ini lemah,sebab bila dapat menghilangkan hadats mengapa batal saat ada air).
Tayamum dapat digunakan dua sholat ?
  • Syafi'i, Maliki, Hambali; tidak boleh mengerjakan sholat dengan satu tayamum baik org mukim maupun musafir.
  • Hanafi; tayamum seperti wudhu dapat digunakan untuk beberapa sholat hingga diperoleh air. demikian juga pendapat ats-Tsauri dan al-Hasan.
Para imam madzhab sepakat bahwa niat merupakan syarat sah tayamum. 
Ijma; org yg bertayamum boleh mengimami org yg berwudhu & org yg bertayamum.

Bertayamum sebelum masuk sholat ?
Syafi'i, Maliki, Hambali; tidak boleh.
Hanafi; boleh.
Mereka berbeda pendapat tentang seseorang  yang tidak dalam perjalanan kesulitan memperoleh air. sementara itu, ia khawatir waktu sholat akan habis  bila mengambil air yang letaknya amat jauh. 
  • Syafi'i; hendaknya ia bertayamum kemudian sholat, setelah mendapatkan air ia harus mengulang sholatnya.
  • Maliki; hendaknya ia bertayamum kemudian sholat, setelah mendapatkan air ia tidak mengulang sholatnya.
  • Hanafi; hendaknya ia menunda sholatnya hingga memperoleh air, lslu mengerjakan sholat yg ditinggalnya itu. 
Barang siapa merasa khawatir akan mati jika menggunakan air maka boleh bertayamum. . dalam hal ini tidak ada perbedaan antara Ulama. akan tetapi, jika ia takut bertambah parah sakitnya, bertambah lama akan sembuhnya, tau takut menimbulkan sakt baru, tetapi tidak khawatir mati, maka menurut Hanafi, Syafi'i dan Hambali, ia boleh bertayamum tanpa harus mengulang sholatnya.
Atha dan al-Hasan; org sakit tidak boleh tayamum, kecuali tidak ada air sama sekali.


Barang siapa yang mendapatkan air sedikit, tidak cukup utuk sekali berwudhu, maka menurut pendapat terkuat Syafi'i, ia boleh menggunakan air yang ada sebelum bertayamum. Hambali; dibasuh bagian-bagian yang dapat dibasuh dengan air itu, sedangkan anggota lainnya ditayamumi. sementara itu, imam lainnya berpendapat bahwa tidak wajib menggunakan air itu dan boleh bertayamum.

Orang yang sebagian anggota badannya terluka atau terputus lalu diperban dan takut bertambah parah jika melepas perbannya;
  • Syafi'i; hendaknya ia engusap kain perbannya selain bertayamum.
  • Hanafi dan Maliki; apabila sebagian tubuhnya sehat dan sebagianna terluka maka gugurlah hukum luka.  Namun lebih disukai jika ia mengusap lukanya dengan air. akan tetapi, jika bagian yang terluka lebih besar daripad bagian yang sehat hendaklah ia bertayamum dan gugur kewajiban membasuh anggota yang terluka.
  • Hambali; bagian yang sehat dibasuh dan bagian yang sakit ditayamumi.
 Apabila seseorang mengusap perban, lalu ia sholat, maka ia tidak dituntut untuk mengulang sholatnya. Namun Syafi'i berpendapat sebaliknya jika perban itu dibalutkan dalam keadaan berhadats dan sukar dicabut. 

Maliki dan Hambali; orang yang mendapat tahanan kota dan tidak diperbolehkan pergi kemana-mana, maka jika ia tidak mendapatkan air, ia boleh bertayamum dan sholat tanpa harus mengulang solatnya. Dari Hanafi terdapat dua riwayat, salah satu mengatakan bahwa tidak perlu mengulang sholat hingga ia dibebaskan dari tahanan atau mendapatkan air. Sedangkan pendapat kedua dari Hanafi mengatakan bahwa ia harus sholat dan mengulang sholatnya, Demikian juga pendapat Syafi'i.

Orang yang lupa bahwa di kendaraannya ada air, lalu ia bertayamum lalu mengerjakan sholat, kemudian ia menemukan air itu, maka ia harus mengulang sholatnya. demikian pendapat Syafi'i dalam qoul jadidnya. Maliki dalam sebagian riwayatnya mengatakan bahwa ia tidak perlu mengulang sholatnya, tetapi hal itu lebih baik. Sedangkan Hanafi dan Hambali berpendapat; ia tidak wajib mengulang sholatnya. Seperti itu pula qoul qodim Syafi'i.

Barang siapa yang tidak mendapatkan air dan tidak mendapatkan tanah, sdangkan waktu sholat telah tiba, menururt Hanafi dan qoul qodim Syafi'i, ia tidak perlu sholat sebelum mendapatkan air atau tanah.

Dari Malik terdapat juga riwayat. Pertama, seperti pendapat Hanafi. Kedua,mengerjakan sholat menurut keadaannya dan mengulangnya jika ditemukan air. Hal tersebut sesuai dengan qoul jadid Syafi'i dan salah satu riwayat dari Hambali. ketiga, pendapat paling shohih, harus sholat dan tidak perlu mengulangnya. Seperti ini pula riwayat kedua Hambali.

Jika pada badn seseorang terapat najis, tetapi ia tidak mempunyai sesuatu untuk menghilangkannya, sementara ia sendiri dalam keadaan suci,menurut Hambali, ia bertayamum untuk najis sebagaimana tayamum untuk hadats dan tidak perlu mengulang sholatnya setelah memperoleh air. Sementara Hanafi, Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa ia tidak perlu bertayamum untuk najis.

Selain itu, dalam riwayat lain Hanafi berpendapat bahwa ia tidak perlu sholat hingga mendapatkan air untuk menghilangkan  najisnya. Sedangkan Syafi'i berpendapat bahwa ia boleh sholat dan harus mengulangnya setelah memperoleh air.

4 imam madzhab berbeda pendapat tentang kadar yang memadai  dalam mengusap anggota tayamum.
  • Hanafi dan qoul qodim Syafi'i; dalam riwayat yang masyhur berpendapat; dua tepukan; satu  untuk wajah dan satu lagi untuk kedua tangan dan siku.Dalam qoul jadid Syafi'i, Syaikh Abu Hamid al-Asfarayini berpendapat; dengan dua kali tepukan atau beberapa kali tepukan.
  • Maliki dan Hambali; sukup sekali tepukan untuk mengusap muka dan dua telapak tangan, yaitu bagian dalam jari-jarinya untuk wajah dan bagian telapak tangan untuk mengusap kedua tangan.

******

-------------------- ALLOHU 'ALAM--------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------
PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN 
PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH
MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda
No Rekening: 0050161952 BANK SYARI'AH MANDIRI
CAPEM CIKARANG
a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH

Senin, 23 April 2012

MANDI WAJIB

KAJIAN KITAB FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-
==============================================================
Empat imam madzhab sepakat bahwa apabila seorang laki-laki telah bersetubuh dengan seorang perempuan dan bertemu kedua kelaminnya, meskipun tidak keluar sperma, mereka wajib mandi.

Syafi'i, Maliki, dan Hambali; tidak ada perbedaan antara kelamin manusia dengan kelamin binatang.
Hanafi ; tidak wajib mandi karena sseorang menyetubuhi binatang kecuali keluar sperma.

Syafi'i; keluar sperma mewajibkan mandi, meskipun tidak disertai rasa nikmat.
Hanafi dan Maliki; jika keluarnya tidak disertai rasa nikmat maka tidak wajib mandi.

Seseorang telah mandi wajib, lalu keluar sperma ?
Hanafi dan Hambali; jika keluarnya sesudah kencing maka tidak wajib mandi, bila sebelum kencing maka wajib mandi.
Syafi'i; wajib mandi secara mutlak.
Maliki; tidak wajib mandi sama sekali.

Apabila keluar sperma dengan terpancar?
Syafi'i; terpancar atau tidak wajib mandi.
Hanafi, Hambali, dan Maliki; jika keluarnya tidak terpancar maka tidak wajib mandi.

Melamun/Menghayal ?
Syafi'i, Hanafi, dan Maliki; tidak wajib mandi kecuali keluar sperma dari dzakar.
Hambali; jika seorang menghayal/melamun, lalu ia merasa keluar sperma dari tulang punggung ke batang dzakarnya, meskipun tidak keluar sperma ia tetap wajib mandi.

Kafir masuk Islam ?
Malik dan Hambali; wajib mandi.
Syafi'i dan Hanafi; sunnah mandi.

Menggosok badan saat mandi wajib ?
Malik; hal tsb wajib.
Syafi'i dan Hanafi; itu adalah sunnah.

Boleh berwudhu dan mandi wajib dengan sisa air orang junub dan haid ?
Hambali; Tidak boleh seorang laki-laki berwudhu dari sisa air wudhu perempuan kecuali ia menyaksikan perempuan tersebut berwudhu dengan air itu. Namun perempuan boleh berwudhu dari sisa air wudhu laki-laki/perempuan.
Maliki, Syafi'i dan Hanafi; Boleh.


Ijma ulama; bila wanita haid dalam keadaan junub, lalu ia bersuci, cukup mandi sekali untuk haid dan janabahnya.

4 imam ; bahwa org junub dilarang menyentuh dan membawa mushaf (al-Qur'an).

Orang junub membaca al-Qur'an ?

Syafi'i dan Hambali; dilarang membaca al-Qur'an sdikit maupun banyak.
Hanafi; boleh kalo cuma sebagian.
Maliki; boleh kalo cuma satu atau dua ayat.



-------------------- ALLOHU 'ALAM--------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------
PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN 
PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH
MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda
No Rekening: 0050161952 BANK SYARI'AH MANDIRI
a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH

Sabtu, 21 April 2012

WUDHU

WUDHU
KAJIAN KITAB FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-
============================================================= 
 http://www.youtube.com/watch?v=ocd0u3EG8f0 (silahkan copy dan unduh di youtube)
Menurut ijma': Niat adalah wajib dalam thaharah, seperti dalam mandi wajib, wudhu, dan tayamum. oleh karena itu, thaharah harus dengan niat. Namun, Hanafi berpendapat: Mandi wajib dan wudhu tidak perlu dengan niat. Tetapi, tayamum harus dengan niat.

Niat adalah di dalam hati. Agar lebih sempurna  nat di dalam hati dibarengi dengan pelafalan dengan lisan. akan tetapi, Maliki berpendapat; Melafalkan niat adalah makruh.

Para Ulama sepakat bahwa niat di dalam hati sudah memadai, tetapi dengan lisan saja tidak cukup.

Tiga imam madzhab; Membaca basmalah ketika berwudhu adalah sunnah, bukan wajib. Hambali---dalam riwayat shahih: Membaca basmalah ketika berwudhu adalah wajib.

Dawud berpendapat: Wudhu tanpa membaca basmalah tidak sempurna, baik meninggalkannya karena lupa maupun sengaja.

Ishaq bin Rahawaih berpendapat;  jika berwudhu tanpa membaca basmalah karena lupa maka wudhunya sah, tetapi jika sengaja maka tidak sah.

Para ulama sepakat bahwa membasuh kdua telapak tangan sebelum berwudhu adalah sunnah, bukan wajib. Hambali; hal itu adalah wajib jika berwudhu sesudah bangun tidur malam, bukan tidur siang.

Sebagian dari kelompok Azh-Zhahiriyah mengatakan; hal itu wajib scara mutlak, bukan karena najis, tetapi semata-mata sebagai ibadah.

Jika seseorang memasukan tangannya ke dalam bejana sebelum dibasuh, hal itu tidaklah merusak kesucian air, kecuali menurut Hasan al-Bashri.

Maliki dan Syafi'i; berkumur dan menghirup air ke dalam hidung adalah sunnah di saat wudhu dan mandi. Hambali; hal itu adalah wajib.

Para imam madzhab sepakat bahwa menyela-nyela janggut yang tebal ketika wudhu adalah sunnah.

Tiga imam madzhab; batas wajah adalah antara tempat tumbuhnya rambut pada umumnya hingga dagu, dan dari telinga yang satu hingga telinga yang lain. Maliki; bagian antara janggut dan telinga tidak termasuk bagian wajah sehingga tidak wajib dibasuh saat berwudhu.

Para ulama sepakat bahwa dua siku termasuk ke dalam bagian tangan yang harus dibasuh saat berwudhu.

Zufar berpendapat; tidak termasuk.

Syafi'i; mengusap kepala di dalam wudhu cukuplah sekedar menyapu dan tidak ditentukan bagian kepala yang disapukan. Maliki dan Hambali; wajib mengusap seluruh kepala. hanafi; cukup mengusap 1/4 bagian kepala dengan tiga jari. jika diusap dengan dua jari, meskipun terusap seluruh bagiannya, tidak sah.

Hanafi, Maliki, dan Syafi'i; mengusap serban tanpa mengenai kepala tanpa uzur tidak diperbolehkan. Hambali; boleh, dengan syarat di bawah talinya ada sesuatu dan memakainya dalam keadaan suci. jika di atas kepalanya terdapat penutup maka mengusapnya tidak sah.

Hanafi, Maliki, dan Hambali; disunnahkan menyapu kepala dengan sekali sapu, Syafi'i; tiga kali sapuan.

Hanafi, Maliki, dan Hambali; kedua telinga termasuk bagian kepala. oleh karena disunnahkan mengusap keduanya ketika mengusap kepala. syafi'i; menyapu kedua telinga adalah sunnah. mengusapnya dengan air yang baru, yaitu sesudah mengusap kepala, bukan air sisa mengusap kepala.

Az-Zuhri berpendapat, "kedua telinga adalah termasuk bagian wajah yang harus dibasuh  bagian luar dan dalamnya ketika membasuh muka."

Asy-Sya'bi dan sekelompok ulama mengatakan, "Bagian yang menghadap ke depan termasuk bagian muka sehingga harus dibasuh ketika membasuh wajah. sementara itu, bagian yang menghadap kebelakang termasuk kepala sehingga harus diusap ketia mengusap kepala."

Menurut ijma; tidak ah mengusap kedua telinga saja tanpa mengusap kepala.

Apakah menguap telinga itu disunnahkan berulang-ulang?
Hanafi, Maliki, dan Hambali; sunnah mengusapnya sekali saja.
Syafi'i; disunnahkan menguap telinga tiga kali. pendapat ini sesuai dengan salah satu riwayat dari Hambali.

Hanafi; mengusap leher termasuk sunnah wudhu. Maliki dan Syafi'i; tidak disunnahkan. Sebagian ulama pengikut Syafi'i dan salah satu pendapat Hambali; hal itu sunnah..

Para imam madzhab; membasuh kedua kaki dalam wudhu bagi orang yang mampu mengerjakannya adalah wajib.

Hambali; al-Auza'i, ats-Tsauri dan Ibnu Jarir; boleh mengusap kedua kaki. Boleh juga memilih membasuh dan mengusap seluruh kaki.

Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra., "yang difardhukan atas keduanya adalah mengusap."

Hanafi dan Maliki; Tartib di dalam wudhu tidak wajib.
Syafi'i dan Hambali; Wajib Tartib.

Hanafi dan Syafi'i; muwalat (berturut-turut tanpa menyelingi dengan perbuatan lain) dalam wudhu adalah sunnah.
Maliki dan Hambali; muwalat Wajib.

Empat imam madzhab sepakat bahwa mengeringkan anggota wudhu tidak disunnahkan dan tidak dimakruhkan.


Empat imam madzhab sepakat bahwa satu wudhu dapat dipergunakan  untuk beberapa shalat.

n-Nakha'i berpendapat; tidak boleh shalat lebih dari lima shalat dengan satu wudhu.

'Ubaid bin Umar berpendapat; satu wudhu adalah wajib untuk satu shalat, berdasarkan lahiriah ayat.


-------------------- ALLOHU 'ALAM--------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------
PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN 
PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH
MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda
No Rekening: 0050161952 BANK SYARI'AH MANDIRI
a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH

SALURKAN DONASI ANDA
MELALUI
REKENING SMP TAKWIENUL UMMAH
0017428179100 BANK JABAR BANTEN (BJB)
UNIT BABELAN BEKASI
A/N SMP TAKWIENUL UMMAH







Sebab Hadats





Bottom of Form

1.     Kencing, B-A-B, dan Keluar Mani
Menurut ijma, air kencing dan kotoran yang keluar dari dua saluran---qubul dan dubur---membatalkan wudu. Adapun, sesuatu yang jarang terjadi, seperti keluar ulat dari dubur, keluar angin dari qubul (kemaluan), batu, darah, dan masih juga membatalkan wudu, kecuali menurut Maliki. Sedangkan Hanafi mengecualikan angin yang keluar dari kemaluan yang menurutnya tidak membatalkan wudu.

       Keluar mani:
  • Tiga imam mazhab:  keluar mani membatalkan wudu. 
  •  Syafi’i: Tidak membatalkan wudu, tetapi mewajibkan mandi. 
  •  Hanafi: Semua itu, termasuk keluarnya mani, membatalkan wudu.

2.     Menyentuh kemaluan
Para Imam Madhab sepakat bahwa orang yang menyentuh kemaluannya dengan selain tangan, wudhunya tidak batal.
Mereka berbeda pendapat tentang orang yang meyentuh kemaluandengan tangan;
  • Hanafi; Hal tsb tidak membatalkan wudhu secara mutlak, dengan sisi mana saja ia mnyentuh.
  • Syafi’i; Hal itu membatalkan wudhu jika sentuhannya dengan telapak tangan bagian dalam tanpa penghalang, baik disertai syahwat maupun tidak, bila menyentuh dengan menggunakan punggung tangan maka tidak membatalkan wudhu.
  • Hambali; Hal itu membatalkan wudhu, baik sentuhannya menggunakan bagian dalam tangan maupun luar.
  • Maliki; Jika sentuhannya disertai syahwat maka hal itu membatalkan wudhu, bila tidak maka tidak batal.

Menyentuh kemaluan orang lain?
  • Syafi’i dan Hambali; tidak membatalkan wudu, baik orang yang menyentuh maupun yang disentuh, kecil atau dewasa, hidup maupun sudah mati.
  • Maliki; Hal tersebut tidak membatalkan wudhu bila yang yang menyentuhnya anak kecil.
  • Hanafi; siapapun yang disentuhnya tidak membatalkan wudhu.

Apakah orang yang disentuh kemaluannya, wudhunya batal?
  • Maliki; wudhunya batal.
  • Hanafi, Syafi’i, dan Hambali; wudhunya tidak batal.

Empat imam madzhab sepakat bahwa menyentuh biji testis tidak membatalkan wudhu, meskipun tanpa penghalang.

Menyentuh amrad (anak muda belia)?
  • Hanafi dan Hambali; tidak wajib wudhu karena menyentuh amrad (anak muda belia) meskipun disertai syahwat. 
  • Maliki dan Syafi’i;  wajib berwudhu karenanya.

Memegang dubur?
  • Hanafi dan Maliki; tidak membatalkan wudhu. 
  • Syafi’i dan Hambali membatalkan wudhu. (Namun diriwayat lain dari mereka, hal itu tidak membatalkan wudhu).

3.     Bersentuhan Kulit Laki-laki dan Perempuan
Hukum laki-laki yang menyentuh perempuan?
  • Syafi’i;  hal itu membatalkan wudhu dalam keadaan apapun  jika tanpa penghalang kecuali mahrom. 
  • Maliki dan Hambali; wudhunya batal jika sentuhan tersebut disertai syahwat, jika tidak dengan syahwat maka tidak batal.
  • Hanafi; Hal itu tidak membatalkan wudhu, kecuali bila memegang dzakar dalam kondisi tegang , baik tegang karena disengaja maupun tidak.

Muhammad bin al-Hasan---seorang murid terkemuka Hanafi---berpendapat;
wudhunya tidak batal walau dalam kondisi tegang.

Atha’ berpendapat;
jika seorang menyentuh perempuan asing---bukan mahrom---wudhunya batal. Tetapi jika perempuan itu adalah halal baginya, seperti isteri dan budak wanita, maka wudhunya tidak batal.
  • Syafi’i dan Maliki; Orang yang menyentuh dan disentuh sama saja batal wudhunya. 
  • Hambali; terdapat dua riwayat---satu membatalkan dan lainnya tidak.

4.     Tidur
Para imam madzhab sepakat bahwa tidur berbaring dan bersandar dapat membatalkan wudhu. Tentang orang yang tertidur dalam shalat, misalnya ketika ruku’?
  • Hanafi; hal itu tidak membatlkan wudhu meskipun tidurnya lama. Namun bila ia rebah ke depan atau ke belakang maka wudhunya batal.
  • Maliki; Tidur ketika ruku’ atau sujud jika lama, membatalkan wudhu. Jika tidur ketika beridiri atau duduk maka wudhunya tidak batal. 
  •  Syafi’i dalam qoul jadid; Jika tidurnya di tempat duduknya maka tidak batal. Namun jika tidak, wudhunya batal. Sedangkan dalam qoul qodim, ia berpendapat bahwa tidur dalam kondisi apapun di dalam shalat tidak membatalkan wudhu.  ---Tidak ada perbedaan antara tidur lama dan sebentar, meskipun ia bermimpi , selama pantatnya tetap melekat pada tempat duduknya. Sebab tidur itu sendiri bukan hadats, melainkan dimungkinkan timbulnya hadats. 
  •  Hambali; Jika tidurnya ketika berdiri, duduk, ruku’, dan sujud itu lama maka batal. (Menurut al-Khathabi; inilah pendapat paling shahih dari dua riwayat Hambali).


 Ø Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
  • Syafi’i dan Maliki; Najis yang dikeluarkan dari badan selain dubur dan qubul seperti darah dari hidung, muntah, dan darah berbekam  tidak membatalkan wudhu.
  • Hanafi; wajib wudhu karena keluar darah yang mengalir dan muntah yang memenuhi mulut.
  • Hambali; Muntah yang banyak membatalkan wudhu,  sedangkan tentang muntah yang banyak ada dua riwayat.

Menurut ijma; tertawa terbahak-bahak di dalam shalat membatalkan shalat. Namun apakah itu membatalkan wudhu?
  • Maliki, Hambali, dan Syafi’i; tidak membatalkan wudhu. 
  •  Hanafi; membatalkan wudhu.

Menurut  ijma’; memakan makanan yang dimasak dengan api, seperti nasi dan roti, tidak membatalkan wudhu. Namun diriwayatkan dari sebagian sahabat, seperti Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit, bahwa mereka mewajibkan wudhu.
  • Hanafi, Maliki, dan Syafi’idalam qoul jadid; memakan daging unta tidak membatalkan wudhu. 
  • Hambali; membatalkan wudhu. Pendapat ini sesuai dengan qoul qodim Syafi’i dan yang dipilih para sahabatnya.

Memandikan mayyit dpt membatalkan wudhu?
  • Tiga imam madzhab; tidak membatalkan wudhu. 
  •  Hambali; hal itu membatalkan wudhu.

Para imam sepakat bahwa orang yang yakin telah bersuci, lalu timbul keraguan tentang kesuciannya, maka ditetapkan suci. Maliki; menurut lahiriah ia tidak suci dan harus berwudhu lagi.

Al-hasan berpendapat; jika keraguaannya muncul ketika shalat, hendaklah ia memilih apa yang diyakininya, lalu meneruskan shalatnya. Namun jika keraguan muncul di luar shalat, hendaklah ia mengambil yang meragukan, yakni berwudhu lagi.

Ø Menyentuh Mushaf;
Menurut ijma tidak boleh menyentuh mushaf (al-Qur’an) dan membawanya bagi orang yang berhdats.
Ada riwayat dari Dawud dan lain-lain bahwa mereka membolehkannya.

Boleh membawanya dengan cara dibungkus dan digantungkan, kecuali menurut Syafi’i; boleh membawa Al-Qur’an bersama benda lain atau bersama tafsir atau dinar (uang), dan boleh juga membuka lembaranny dengan kayu.

Ø Buang Hajat
  • Syafi’i, Maliki, dan Hambali dalam riwayatnya yang paling masyhur: menghadap ke arah Kiblat dan membelakanginya ketika buang air di tanah lapang adalah haram. 
  •  Hanafi dan Hambali---dalam riwayat lain; buang air menghadap Kiblat atau membelakanginya, baik di tanah lapang atau di dalam bangunan adalah makruh.

Ø Istinja’
  • Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam satu riwayat: Istinja’adalah wajib.  Namun dalam riwayat lain dari Maliki; sah shalat seorang tanpa istinja’.
  • Hanafi; istinja’ adalah sunnah, tidak wajib. Demikian juga menurut riwayat lain dari Maliki. Menurut Hanafi; jika seseorang shalat tanpa istinja’ maka shalatnya sah. Yang wjib dihilangkan adalah yang lebih dari ukuran uang dirham.

Tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan batu yang kurang dari tiga buah, walaupun sudah bersih. Adapun yang dimaksud dengan tiga batu adalah tiga kali sapuan. Maka, apabila batu tersebut memiliki tiga buah sudut, sudahlah cukup jika dapat membersihkannya. Namun, jika batu yang bersudut tiga itu tidak dapat membersihkan, maka bagian itu harus disapu dengan batu keempat, kelima, dst.
  • Hanafi dan maliki; yang diperlukan adalah kebersihannya, dan tidak disukai menggunakan lebih dari tiga buah batu. 
  •  Syafi’I dan Hambali; tidak boleh bristinja’ dengan tulang dan kotoran hewan. Hanafi dan Maliki; kedua benda itu memadai, tetapi lebih disukai dengan tidak menggunakannya.

-------------------- ALLOHU 'ALAM--------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------
PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH
MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda
No Rekening: 0050161952 BANK SYARI'AH MANDIRI
a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH

Jumat, 20 April 2012

Aneka Najis

KENAJISAN

KAJIAN KITAB FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-

1. Khamar
Para Imam mazhab sepakat tentang najisnya khamar, kecuali sebuah riwayat dari Dawud azh-Zhahiri yang mengatakan kesuciannya tetapi mengharamkannya. Mereka sepakat bahwa apabila khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun, jika khamar berubah menjadi cuka karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i dan Hanbali, hal itu tidak suci.
...
Maliki: Mengubah khamar menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun, jika khamar menjadi cuka, maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Hanafi: Khamar boleh dibuat cuka, dan apabila telah menjadi cuka maka hukumnya suci dan halal.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

2. Anjing dan Babi
Syafi’i dan Hanbali: Anjing adalah najis. Bejana yang dijilat anjing harus harus dibasuh tujuh kali. Hanafi: Anjing adalah najis, tetapi bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis lainnya. Apabila diduga bahwa najisnya sudah suci, meskipun dengan dibasuh satu kali, maka hal itu sudah cukup. Namun, jika diduga najisnya belum hilang maka bekas jilatannya itu harus dibasuh lagi hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali. Maliki: Anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis. Namun, bejana yang dijilatnya harus dicuci semata-mata sebagai ibadah saja.

Kalau anjing memasukan keempat kakinya ke dalam sebuah bejana maka bejana tersebut wajib dibasuh tujuh kali seperti mencuci bekas jilatannya. Namun, dalam hal ini Maliki berbeda pendapat karena ia mengkhususkan basuhan tujuh kali itu hanya pada bekas jilatan.

Babi hukumnya seperti anjing, yakni bekas jilatannya dibasuh tujuh kali. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi’i. An-Nawawi berpendapat, “Pendapat paling kuat dari segi dalil adalah najis babi cukup dibasuh satu kali tanpa disertai tanah,” Pendapat ini pun dianut kenanyakan ulama. Pendapat ini dipilih karena pada dasarnya tidak ada kewajiban hingga datang perintah.

Maliki: Babi adalah suci ketika masih hidup karena tidak ada dalil yang menjelaskan kenajisannya. Hanafi: Najis babi harus dibasuh seperti najis-najis lainnya.

Membasuh bejana, pakaian, dan badan dari najis selain najis anjing dan babi, menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Tidak diulang-ulang---tujuh kali. Riwayat paling masyhur dari Hanbali: Wajib mengulang basuhan, kecuali najis tanah. Maka, bejana dibasuh tujuh kali. Namun, menurut riwayat lain, basuhan itu tiga kali. Ada juga riwayat yang tidak mengharuskan pengulangan basuhan jika najis itu bukan anjing dan babi.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

3. Air Kencing Bayi
Syafi’i dan Hanafi: Menyucikan air kencing bayi laki-laki yang hanya minum air susu cukup dengan dipercikan air di atasnya. Namun, air kencing bayi perempuan harus dibasuh atau disiram. Maliki: Keduanya harus dibasuh dan hukum keduanya sama. Hanbali: Air kencing bayi perempuan yang masih menyusu adalah suci.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

4. Bangkai
Hanafi: Semua kulit binatang dapat menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi. Riwayat paling kuat dari Maliki: Kulit tidak dapat menjadi suci, tetapi ia dapat dipergunakan untuk sesuatu yang basah.

Syafi’i: Semua kulit binatang dapat disucikan dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi, serta binatang hasil dari kawin silang salah satu dari kedua binatang itu dengan binatang lain.

Dan Hanbali ada dua riwayat, tetapi yang termasyhur mengatakan bahwa kulit bangkai tidak suci dan tidak dapat dipergunakan untuk apa pun sebagaimana daging bangkai.

Syafi’i dan Hanbali: Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan untuk apapun jika binatang tersebut tidak halal dimakan. Jika binatang itu disembelih maka itu menjadi bangkai.

Maliki: t bai t diunakih mitu adi kai.an, kecuali kulit babi. Jika binatang buas atau anjing disembelih maka kulitnya suci, boleh diprjual-belikan, dan menyimpan air wudhu meskipun tidak disamak. Hanafi: seluruh bagiannya adalah suci, tetapi dagingnya haram. Hanafi dagingnya makruh.

Syafi’i: Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu termasuk bagian badan yang tidak pernah mati. Oleh karena itu hukumnya suci secara mutlak, baik ia dari binatang yang halal dagingnya, seperti kambing dan kuda,mapun dari binatang yang tidak halal dimakan, seperti keledai dan anjing. Ia pun berpendapat bahwa bulu anjing dan babi adalah suci, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.

Pendapat paling shahih dari Hanbali: Rambut dan bulu anjing dan babi adalah suci. Demikian juga, menurut Hanafi seraya menambahkan bahwa tanduk, gigi, dan tulang adalah suci sebab tidak bernyawa.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan al-Awza’i bahwa rambut semua binatang adalah najis, ia dapat disucikan dengan dibasuh.

Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya memanfa’atkan bulu babi untuk bantal. Hanafi dan Maliki memberikan keringanan. Syafi’i melarangnya, dan Hanbali memakruhkannya. Hanbali berpendapat: Bantal dari sabut lebih aku sukai.

Hanafi dan Maliki: Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir seperti lebah, semut, kumbang, dan kalajengking jika mati pada benda yang basah maka menda itu tidak menjadi najis karena binatang itu sendiri adalah suci. Pendapat paling kuat dari Syafi’i dan Hanbali benda itu tidak menjadi najis, tetapi bangkai binatang itu sendiri adalah najis.

Syafi’i: Ulat yang muncul pada benda yang halal, apabila mati di dalamnya, tidak menjdaikannya najis, dan benda itu boleh dimakan bersama ulatnya.

Tiga imam mazhab: Binatang yang hidup di air, seperti katak, apabila mati di dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis. Hanafi: Air itu tidak menjadi najis.

Menurut Ijma, bangkai belalang dan ikan adalah suci. Adapun tentang mayat manusia, menurut Maliki, Hanbali, dan Syafi’i---menurut pendapat yang paling shahih, tidak najis. Hanafi: Mayat itu najis, tetapi bisa disucikan dengan dimandikan.

Orang junub, wanita haid, dan orang musyrik, apabila memasukan salah satu tangannya ke bejana berisi air sedikit---kurang dari dua qullah---maka air tersebut tetap suci. Demikian menurut ijma’.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

5. Sisa Makan dan Minum Binatang
Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali: Sisa makan atau minum anjing dan babi adalah najis, tetapi sisa makan atau minum binatang lain adalah suci. Pendapat paling shahih dari Hanbali: Sisa makan dan minum binatang buas adalah najis. Maliki: Sisa makan dan minum binatang itu adalah suci.

Tiga imam mazhab sepakat bahwa sisa minum baghal dan keledai adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat menyucikan. Pendapat yang paling shahih dari Hanbali: Hal itu najis.

Pentingnya mengetahui masalah ini adalah apabila seseorang tidak mendapatkan air---selain air sisa minum binatang---apakah ia berwudhu dengannya atau bertayamum.

Para Ulama sepakat tentang kesucian kucing dan binatang yang lebih kecil daripadanya. Hanafi: Sisa---makan dan minum---kucing adalah makruh. Sementara itu, al-Awza’i dan ats-Tsawi berpendapat bahwa sisa---makan dan minum--- binatang yang tidak dimakan dagingnya adalah najis, kecuali manusia.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

6. Najis Yang Dima’afkan
Pendapat paling shahih dari Syafi’i, mengatakan bahwa semua najis banyak ataupun sedikit, sama dalam hukum menghilangkannya. Tidak ada yang dima’afkan, kecuali yang sulit dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul, darah kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu jalan. Maliki pun berpendapat demikian. Bahkan, ia mengatakan bahwa darah sedikit dimaa’afkan. Hanafi berpendapat bahwa darah kutu dan darah kepinding adalah suci. Selanjutnya, Hanafi menetapkan bahwa segala najis yang ukurannya lebih kecil daripada mata uang satu dirham dima’afkan.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

7. Benda yang Keluar dari Perut
Benda lunak yang keluar dari perut melalui dubur adalah najis. Hal ini disepakati para ulama. Namun, ada riwayat dari Hanafi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah suci.

Syafi’i: Air kencing dan tahi adalah najis secara mutlak. Maliki dan Hanbali: Air kencing dan kotoran binatang yang dagingnya dapat dimakan adalah suci.

Hanafi: Kotoran burung yang dagingnya dapat dimakan, seperti merpati dan pipit, adalah suci. Syafi’i dalam qaul qodim-nya: Kotoran selain kedua burung tersebut adalah najis.

Diriwayatkan dari an-Nakha’i bahwa air kencing semua binatang yang suci adalah suci.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

8. Mani
Hanafi dan Maliki: Mani manusia adalah najis. Maliki: Mani harus dibasuh dengan air, baik basah maupun kering. Hanafi: Mani dibasuh jika basah dan dikerik jika telah kering.

Pendapat paling shahih dari Syafi’i: Mani adalah suci secara mutlak, kecuali mani anjing dan babi. Sementara itu pendapat paling shahih dari Hanbali: Mani yang suci hanya mani manusia.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

9. Air yang Terkena Najis
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berwudu dari sumur yang telah kejatuhan bangkai. Hanafi: Apabila bangkai itu telah rusak maka shalatnya harus diulang selama tiga hari, sedangkan jika tidak rusak maka shalatnya diulang selama sehari semalam. Syafi’i dan Hanbali: Jika aitnya sedikit, hendaklah diulang shalat yang menurut perkiraannya dikerjakan dengan wudhu dari air tersebut. Sementara itu jika airnya banyak dan tidak berubah, maka shalatnya tidak wajib diulang. Namun, jika airnya berubah, shalatnya wajib diulangi sejak air itu berubah.

Maliki: Jika air itu berupa mata air dan tidak berubah sifat-sifatnya maka air itu suci dan shalatnya tidak wajib diulang. Sedangkan jika bukan mata air, Maliki mempunyai dua riwayat. Ibn Qasim, sahabat Maliki, memutlakkan kenajisannya.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

10. Ragu tentang Mana yang Suci
Kalau keadaan air tidak jelas, suci atau najis, jika ada bejana-bejana yang sebagiannya suci dan sebagian lain terkena najis, bolehkah berijtihad atau memilih yang lebih pantas dalam hal ini?

Syafi’i: Ia boleh berijtihad dan berwudu dengan air yang dianggapnya suci. Hanbali: Jangan memilih yang dipandang, melainkan semuanya dituangkan atau dicampurkan, lalu bertayamum. Maliki---menurut sebuah riwayat: Orang ini tidak boleh memilih yang dianggapnya suci.

Jika orang itu mempunyai dua helai kain, yang satu suci dan yang lain najis, tetapi tidak diketahui mana yang suci, maka ia boleh memilih yang dianggapnya suci. Maliki dan Hanbali: Ia harus shalat dua kali; sekali dengan kain pertama dan sekali lagi dengan kain kedua. Hanafi dan Syafi’i: Ia harus memilih salah satu dari keduanya.

----------------------------------------ALLOHU 'ALAM------------------------------------------
-----------------------------WASSALAMU'ALAKUM WR.WB ------------------------

PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN 

PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH

MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda

No Rekening : 0050161952  a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH

Selasa, 10 April 2012

Thoharoh

THAHAROH

KAJIAN KITAB FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-

Shalat tidak sah dikerjakan kecuali dengan bersuci terlebih dahulu. Demikian menurut ijma. Para ulama sepakat tentang wajibnya bersuci dengan air jika air itu ada dan dapat digunakan, serta tidak ada keperluan lain---yang lebih mendesak, seperti minum. Sementara itu, wajib bertayamum denga tanah (debu) jika tidak ada air.
Para fuqoha di kota-kota besar---seperti Kuffah dan Basrah---telah sepakat bahwa air laut, baik yang tawar maupun yang asin, adalah suci dan menyucikan, seperti air-air yang lain. Namun, terdapat beberapa ulama melarang wudhu dengan air laut. Ada juga sekelompok ahli fiqih yang membolehkan ketika dalam keadaan darurat saja. Sementara itu, ada ahli fiqih lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air laut untuk berwudhu.
Para Ulama sepakat bahwa bersuci tidak sah kecuali dengan air. Diriwayatkan dari Ibn Abi Laila dan al-'Ashim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan yang lain.

Maliki, Syafi'i, dan Hambali: Najis tidak dapat dihilangkan kecuali dengan air. Hanafi: Najis dapat dihilangkan dengan segala cairan yang suci.
Pendapat paling shahih dari Syafi'i: Air panas karena terkena sinar matahari hukumnya adalah makruh. Sementara itu, pendapat yang dipilih oleh para pengikutnya yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh. 
Demikian juga menurut tiga imam yang lain---yaitu Hanafi, Maliki, dan Hambali.

Air yang dimasak hukumnya tidak makruh, demikian menurut kesepakatan para ulama. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa ia memakruhkannya. Sementara itu, Hambali memakruhkannya jika dipanaskan dengan api.
Air bekas bersuci (musta'mal) hukumnya adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Demikianlah pendapat yang masyhur di kalangan mazhab Hanafi, yang paling shahih dalam mazhab Syafi'i, dan mazhab Hanbali. Maliki; Air musta'mal dapat menyucikan. sementara itu, menurut sebagian riwayat dari Hanafi: Air musta'mal adalah najis. Demikian juga, menurut Abu Yusuf.
Air yang berubah karena bercampur dengan ja'faran atau benda-benda suci lain yang sejenis dan perubahannya sangat jelas, menurut Maliki, Syafi'i, dan Hanbali: Air tersebut tidak dapat dipergunakan untuk bersuci. Hanafi dan pengikutnya: Boleh bersuci dengan air tersebut. Mereka berpendapat bahwa berubahnya air oleh sesuatu yang suci tidaklah menghilangkan sifat menyucikan selama unsur-unsur airnya tidak hilang.
Air yang berubah karena terlalu lama disimpan atau tidak digunakan hukumnya adalah suci. Hal in berdasarkan kesepakatan para Ulama. diriwayatkan dari Ibn Sirin, bahwa air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Mandi dan wudhu dengan air Zamzam, menurut Hanbali hukumnya adalah makruh. 
Hal itu demi memelihara kemuliaannya.
Api dan matahari tidak dapat menghilangkan najis. 
Namun, Hanafi berpendapat: api dan matahari dapat menghilangkan najis. 
Menurutnya jika ada kulit bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka hukumnya suci meskipun tidak disamak. Demikian pula jika di atas tanah terdapat najis, kemudian kering oleh sinar matahari, maka tempat itu menjadi suci dan dapat dipergunakan untuk shalat. Namun tempat itu tidak dapat dipergunakan untuk bertayamum. 
Hanafi; api dapat menghilangkan najis.
Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali dalam salah satu riwayatnya: Apabila air tenang kurang dari dua qullah, ia akan menjadi jika terkena benda najis walaupunsifat-sifatnya tidak berubah. 
Maliki dan Hanbali dalam riwayat yang lain: Air tersebut suci selama sifat-sifatnya tidak berubah.
Adapun jika air lebih dari dua qullah, yaitu 500 rith! Baghdad atau 180 rith Damaskus, atau dalam volume 4 x 4 x 4 hasta, tidaklah menjadi najis ---jika terkena benda najis---kecuali jika sifat-sifatnya berubah. Demikian, pendapat Syafi'i dan Hanbali.

Maliki: Air yang berada di sebuah tempat dengan ukuran tersebut tidak najis jika terkena benda najis. Namun jika warna, rasa, atau baunya berubah maka hukumnya adalah najis, baik air itu sedikit maupun banyak.
Hanafi: Campurannya harus diperhatikan. Jika air itu bercampur dengan benda najis maka hukumnya adalah najis, kecuali jika air tersebut banyak. Air tersebut dikatakan banyak (ma’ katsir) apabila digerakan salah satu tepinya maka tepi lainnya tidak bergerak. Dalam keadaan demikian, hukumnya tidak najis---jika air tersebut terkena benda najis.
Hanafi, Hanbali, dan qoul jadid Syafi’i---yang menjadi pendapat paling kuat di dalam mazhab Syafi’i: Air yang mengalir hukumnya sama dengan air yang tenang. 
Maliki: Air yang mengalir itu tidak menjadi najis---jika terkena benda najis---kecuali jika air tersebut berubah, ia air yang sedikit maupun banyak. Seperti itu pula qoul qodim Syafi’i dan yang dipilih oleh sekelompok sehabatnya, seperti al-Baghawi, Imam al-Haramain, dan al-Ghazali. Imam an-Nawawi, di dalam Syarh al-Mahadzdzib, mengatakan bahwa inilah pendapat yang kuat.
Para Ulama: Penggunaan perkakas yang terbuat dari emas untuk makan, minum, dan berwudhu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, adalah haram. Syafi’i berpendapat sebaliknya. Sementara itu, Dawud berpendapat hal itu haram jika digunakan untuk minum. Pendapat Hanafi, Maliki, dan Hanbali yang mengharamkannya lebih kuat daripada pendapat Syafi’i.
Para Ulama: Menggunakan saluran air yang terbuat dari emas adalah haram. Adapun, menggunakan saluran air yang terbuat dari perak adalah haram menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali jika alirannya besar dan untuk hiasan. Hanafi: Menggunakan saluran air dari perak tidak haram.
Bersiwak adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan Dawud berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib. Sementara itu, Ishaq berpendapat bahwa apabila bersiwak itu ditinggalkan dengan sengaja maka shalatnya batal.
 Apakah bersiwak bagi orang yang sedang berpuasa hukumnya adalah makruh? Hanafi dan Maliki: Hal itu tidak makruh. Syafi’i: Hali itu makruh. Dari Hambali diriwayatkan dua riwayat yang mengatakan bahwa hal itu tidak makruh.
----------------------------------- ALLOHU 'ALAM-----------------------------------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------------------

Salurkan Donaasi anda ke:
 No Rekening 0050161952 Bank Syariah Mandiri
a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH
(PAUD, TK, TPQ, SMP, PKBM (PAKET A,B,C)---GRATIS
(MAJELIS TA'LIM, MASJID) 
INSYA ALLOH
PANTI DAN PONDOK PESANTREN
MOHON DO'A & DUKUNGAN KAUM MUSLIMIN