KENAJISAN
KAJIAN KITAB
FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman
ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-
1.
Khamar
Para Imam mazhab sepakat tentang najisnya khamar, kecuali
sebuah riwayat dari Dawud azh-Zhahiri yang mengatakan kesuciannya tetapi
mengharamkannya. Mereka sepakat bahwa apabila khamar berubah menjadi
cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun, jika khamar
berubah menjadi cuka karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i dan
Hanbali, hal itu tidak suci.
...
Maliki: Mengubah khamar
menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun, jika khamar menjadi cuka,
maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Hanafi: Khamar boleh
dibuat cuka, dan apabila telah menjadi cuka maka hukumnya suci dan
halal.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
2. Anjing dan Babi
Syafi’i dan Hanbali: Anjing adalah najis.
Bejana yang dijilat anjing harus harus dibasuh tujuh kali. Hanafi:
Anjing adalah najis, tetapi bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana
kita mencuci najis lainnya. Apabila diduga bahwa najisnya sudah suci,
meskipun dengan dibasuh satu kali, maka hal itu sudah cukup. Namun, jika
diduga najisnya belum hilang maka bekas jilatannya itu harus dibasuh
lagi hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh
kali. Maliki: Anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis.
Namun, bejana yang dijilatnya harus dicuci semata-mata sebagai ibadah
saja.
Kalau anjing memasukan keempat kakinya ke dalam sebuah
bejana maka bejana tersebut wajib dibasuh tujuh kali seperti mencuci
bekas jilatannya. Namun, dalam hal ini Maliki berbeda pendapat karena ia
mengkhususkan basuhan tujuh kali itu hanya pada bekas jilatan.
Babi hukumnya seperti anjing, yakni bekas jilatannya dibasuh tujuh
kali. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi’i.
An-Nawawi berpendapat, “Pendapat paling kuat dari segi dalil adalah
najis babi cukup dibasuh satu kali tanpa disertai tanah,” Pendapat ini
pun dianut kenanyakan ulama. Pendapat ini dipilih karena pada dasarnya
tidak ada kewajiban hingga datang perintah.
Maliki: Babi adalah
suci ketika masih hidup karena tidak ada dalil yang menjelaskan
kenajisannya. Hanafi: Najis babi harus dibasuh seperti najis-najis
lainnya.
Membasuh bejana, pakaian, dan badan dari najis selain
najis anjing dan babi, menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Tidak
diulang-ulang---tujuh kali. Riwayat paling masyhur dari Hanbali: Wajib
mengulang basuhan, kecuali najis tanah. Maka, bejana dibasuh tujuh kali.
Namun, menurut riwayat lain, basuhan itu tiga kali. Ada juga riwayat
yang tidak mengharuskan pengulangan basuhan jika najis itu bukan anjing
dan babi.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
3. Air Kencing Bayi
Syafi’i dan Hanafi: Menyucikan air kencing
bayi laki-laki yang hanya minum air susu cukup dengan dipercikan air di
atasnya. Namun, air kencing bayi perempuan harus dibasuh atau disiram.
Maliki: Keduanya harus dibasuh dan hukum keduanya sama. Hanbali: Air
kencing bayi perempuan yang masih menyusu adalah suci.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
4. Bangkai
Hanafi: Semua kulit binatang dapat menjadi suci
dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi. Riwayat paling kuat dari
Maliki: Kulit tidak dapat menjadi suci, tetapi ia dapat dipergunakan
untuk sesuatu yang basah.
Syafi’i: Semua kulit binatang dapat
disucikan dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi, serta binatang
hasil dari kawin silang salah satu dari kedua binatang itu dengan
binatang lain.
Dan Hanbali ada dua riwayat, tetapi yang
termasyhur mengatakan bahwa kulit bangkai tidak suci dan tidak dapat
dipergunakan untuk apa pun sebagaimana daging bangkai.
Syafi’i
dan Hanbali: Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan untuk
apapun jika binatang tersebut tidak halal dimakan. Jika binatang itu
disembelih maka itu menjadi bangkai.
Maliki: t bai
t diunakih mitu adi kai.an, kecuali kulit babi. Jika binatang buas atau anjing
disembelih maka kulitnya suci, boleh diprjual-belikan, dan menyimpan air
wudhu meskipun tidak disamak. Hanafi: seluruh bagiannya adalah suci,
tetapi dagingnya haram. Hanafi dagingnya makruh.
Syafi’i:
Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu
termasuk bagian badan yang tidak pernah mati. Oleh karena itu hukumnya
suci secara mutlak, baik ia dari binatang yang halal dagingnya, seperti
kambing dan kuda,mapun dari binatang yang tidak halal dimakan, seperti
keledai dan anjing. Ia pun berpendapat bahwa bulu anjing dan babi adalah
suci, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.
Pendapat
paling shahih dari Hanbali: Rambut dan bulu anjing dan babi adalah suci.
Demikian juga, menurut Hanafi seraya menambahkan bahwa tanduk, gigi,
dan tulang adalah suci sebab tidak bernyawa.
Diriwayatkan dari
al-Hasan al-Bashri dan al-Awza’i bahwa rambut semua binatang adalah
najis, ia dapat disucikan dengan dibasuh.
Para ulama berbeda
pendapat tentang bolehnya memanfa’atkan bulu babi untuk bantal. Hanafi
dan Maliki memberikan keringanan. Syafi’i melarangnya, dan Hanbali
memakruhkannya. Hanbali berpendapat: Bantal dari sabut lebih aku sukai.
Hanafi dan Maliki: Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir
seperti lebah, semut, kumbang, dan kalajengking jika mati pada benda
yang basah maka menda itu tidak menjadi najis karena binatang itu
sendiri adalah suci. Pendapat paling kuat dari Syafi’i dan Hanbali benda
itu tidak menjadi najis, tetapi bangkai binatang itu sendiri adalah
najis.
Syafi’i: Ulat yang muncul pada benda yang halal, apabila
mati di dalamnya, tidak menjdaikannya najis, dan benda itu boleh
dimakan bersama ulatnya.
Tiga imam mazhab: Binatang yang hidup
di air, seperti katak, apabila mati di dalam air yang sedikit, maka air
itu menjadi najis. Hanafi: Air itu tidak menjadi najis.
Menurut
Ijma, bangkai belalang dan ikan adalah suci. Adapun tentang mayat
manusia, menurut Maliki, Hanbali, dan Syafi’i---menurut pendapat yang
paling shahih, tidak najis. Hanafi: Mayat itu najis, tetapi bisa
disucikan dengan dimandikan.
Orang junub, wanita haid, dan
orang musyrik, apabila memasukan salah satu tangannya ke bejana berisi
air sedikit---kurang dari dua qullah---maka air tersebut tetap suci.
Demikian menurut ijma’.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
5. Sisa Makan dan Minum Binatang
Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali:
Sisa makan atau minum anjing dan babi adalah najis, tetapi sisa makan
atau minum binatang lain adalah suci. Pendapat paling shahih dari
Hanbali: Sisa makan dan minum binatang buas adalah najis. Maliki: Sisa
makan dan minum binatang itu adalah suci.
Tiga imam mazhab
sepakat bahwa sisa minum baghal dan keledai adalah suci, tetapi tidak
menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat menyucikan. Pendapat yang
paling shahih dari Hanbali: Hal itu najis.
Pentingnya
mengetahui masalah ini adalah apabila seseorang tidak mendapatkan
air---selain air sisa minum binatang---apakah ia berwudhu dengannya atau
bertayamum.
Para Ulama sepakat tentang kesucian kucing dan
binatang yang lebih kecil daripadanya. Hanafi: Sisa---makan dan
minum---kucing adalah makruh. Sementara itu, al-Awza’i dan ats-Tsawi
berpendapat bahwa sisa---makan dan minum--- binatang yang tidak dimakan
dagingnya adalah najis, kecuali manusia.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
6. Najis Yang Dima’afkan
Pendapat paling shahih dari Syafi’i,
mengatakan bahwa semua najis banyak ataupun sedikit, sama dalam hukum
menghilangkannya. Tidak ada yang dima’afkan, kecuali yang sulit
dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul, darah
kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu jalan. Maliki
pun berpendapat demikian. Bahkan, ia mengatakan bahwa darah sedikit
dimaa’afkan. Hanafi berpendapat bahwa darah kutu dan darah kepinding
adalah suci. Selanjutnya, Hanafi menetapkan bahwa segala najis yang
ukurannya lebih kecil daripada mata uang satu dirham dima’afkan.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
7. Benda yang Keluar dari Perut
Benda lunak yang keluar dari
perut melalui dubur adalah najis. Hal ini disepakati para ulama. Namun,
ada riwayat dari Hanafi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah
suci.
Syafi’i: Air kencing dan tahi adalah najis secara mutlak.
Maliki dan Hanbali: Air kencing dan kotoran binatang yang dagingnya
dapat dimakan adalah suci.
Hanafi: Kotoran burung yang
dagingnya dapat dimakan, seperti merpati dan pipit, adalah suci. Syafi’i
dalam qaul qodim-nya: Kotoran selain kedua burung tersebut adalah
najis.
Diriwayatkan dari an-Nakha’i bahwa air kencing semua
binatang yang suci adalah suci.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
8. Mani
Hanafi dan Maliki: Mani manusia adalah najis. Maliki:
Mani harus dibasuh dengan air, baik basah maupun kering. Hanafi: Mani
dibasuh jika basah dan dikerik jika telah kering.
Pendapat
paling shahih dari Syafi’i: Mani adalah suci secara mutlak, kecuali mani
anjing dan babi. Sementara itu pendapat paling shahih dari Hanbali:
Mani yang suci hanya mani manusia.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
9. Air yang Terkena Najis
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukum berwudu dari sumur yang telah kejatuhan bangkai. Hanafi: Apabila
bangkai itu telah rusak maka shalatnya harus diulang selama tiga hari,
sedangkan jika tidak rusak maka shalatnya diulang selama sehari semalam.
Syafi’i dan Hanbali: Jika aitnya sedikit, hendaklah diulang shalat yang
menurut perkiraannya dikerjakan dengan wudhu dari air tersebut.
Sementara itu jika airnya banyak dan tidak berubah, maka shalatnya tidak
wajib diulang. Namun, jika airnya berubah, shalatnya wajib diulangi
sejak air itu berubah.
Maliki: Jika air itu berupa mata air dan
tidak berubah sifat-sifatnya maka air itu suci dan shalatnya tidak
wajib diulang. Sedangkan jika bukan mata air, Maliki mempunyai dua
riwayat. Ibn Qasim, sahabat Maliki, memutlakkan kenajisannya.
------------------------------ --------------------------->>> >>>>>>>>>>>>>>
10. Ragu tentang Mana yang Suci
Kalau keadaan air tidak jelas,
suci atau najis, jika ada bejana-bejana yang sebagiannya suci dan
sebagian lain terkena najis, bolehkah berijtihad atau memilih yang lebih
pantas dalam hal ini?
Syafi’i: Ia boleh berijtihad dan berwudu
dengan air yang dianggapnya suci. Hanbali: Jangan memilih yang
dipandang, melainkan semuanya dituangkan atau dicampurkan, lalu
bertayamum. Maliki---menurut sebuah riwayat: Orang ini tidak boleh
memilih yang dianggapnya suci.
Jika orang itu mempunyai dua
helai kain, yang satu suci dan yang lain najis, tetapi tidak diketahui
mana yang suci, maka ia boleh memilih yang dianggapnya suci. Maliki dan
Hanbali: Ia harus shalat dua kali; sekali dengan kain pertama dan sekali
lagi dengan kain kedua. Hanafi dan Syafi’i: Ia harus memilih salah satu
dari keduanya.
-------------------------------------- --ALLOHU 'ALAM------------------------------------------
-----------------------------WASSALAMU'ALAKUM WR.WB ------------------------
-----------------------------WASSALAMU'ALAKUM WR.WB ------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar