Jumat, 20 April 2012

Aneka Najis

KENAJISAN

KAJIAN KITAB FIQIH EMPAT MADZHAB---Syaikh al-'Allamah Muhammad bin 'Abdurrahman ad-Dimasyqi--- silahkan disimak!
-SEMOGA BERMANFA'AT-

1. Khamar
Para Imam mazhab sepakat tentang najisnya khamar, kecuali sebuah riwayat dari Dawud azh-Zhahiri yang mengatakan kesuciannya tetapi mengharamkannya. Mereka sepakat bahwa apabila khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya menjadi suci. Namun, jika khamar berubah menjadi cuka karena dicampur dengan sesuatu, menurut Syafi’i dan Hanbali, hal itu tidak suci.
...
Maliki: Mengubah khamar menjadi cuka hukumnya adalah makruh. Namun, jika khamar menjadi cuka, maka cuka itu hukumnya adalah suci dan halal. Hanafi: Khamar boleh dibuat cuka, dan apabila telah menjadi cuka maka hukumnya suci dan halal.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

2. Anjing dan Babi
Syafi’i dan Hanbali: Anjing adalah najis. Bejana yang dijilat anjing harus harus dibasuh tujuh kali. Hanafi: Anjing adalah najis, tetapi bekas jilatannya boleh dicuci sebagaimana kita mencuci najis lainnya. Apabila diduga bahwa najisnya sudah suci, meskipun dengan dibasuh satu kali, maka hal itu sudah cukup. Namun, jika diduga najisnya belum hilang maka bekas jilatannya itu harus dibasuh lagi hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali. Maliki: Anjing adalah suci dan bekas jilatannya tidak najis. Namun, bejana yang dijilatnya harus dicuci semata-mata sebagai ibadah saja.

Kalau anjing memasukan keempat kakinya ke dalam sebuah bejana maka bejana tersebut wajib dibasuh tujuh kali seperti mencuci bekas jilatannya. Namun, dalam hal ini Maliki berbeda pendapat karena ia mengkhususkan basuhan tujuh kali itu hanya pada bekas jilatan.

Babi hukumnya seperti anjing, yakni bekas jilatannya dibasuh tujuh kali. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi’i. An-Nawawi berpendapat, “Pendapat paling kuat dari segi dalil adalah najis babi cukup dibasuh satu kali tanpa disertai tanah,” Pendapat ini pun dianut kenanyakan ulama. Pendapat ini dipilih karena pada dasarnya tidak ada kewajiban hingga datang perintah.

Maliki: Babi adalah suci ketika masih hidup karena tidak ada dalil yang menjelaskan kenajisannya. Hanafi: Najis babi harus dibasuh seperti najis-najis lainnya.

Membasuh bejana, pakaian, dan badan dari najis selain najis anjing dan babi, menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i: Tidak diulang-ulang---tujuh kali. Riwayat paling masyhur dari Hanbali: Wajib mengulang basuhan, kecuali najis tanah. Maka, bejana dibasuh tujuh kali. Namun, menurut riwayat lain, basuhan itu tiga kali. Ada juga riwayat yang tidak mengharuskan pengulangan basuhan jika najis itu bukan anjing dan babi.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

3. Air Kencing Bayi
Syafi’i dan Hanafi: Menyucikan air kencing bayi laki-laki yang hanya minum air susu cukup dengan dipercikan air di atasnya. Namun, air kencing bayi perempuan harus dibasuh atau disiram. Maliki: Keduanya harus dibasuh dan hukum keduanya sama. Hanbali: Air kencing bayi perempuan yang masih menyusu adalah suci.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

4. Bangkai
Hanafi: Semua kulit binatang dapat menjadi suci dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi. Riwayat paling kuat dari Maliki: Kulit tidak dapat menjadi suci, tetapi ia dapat dipergunakan untuk sesuatu yang basah.

Syafi’i: Semua kulit binatang dapat disucikan dengan disamak, kecuali kulit anjing dan babi, serta binatang hasil dari kawin silang salah satu dari kedua binatang itu dengan binatang lain.

Dan Hanbali ada dua riwayat, tetapi yang termasyhur mengatakan bahwa kulit bangkai tidak suci dan tidak dapat dipergunakan untuk apa pun sebagaimana daging bangkai.

Syafi’i dan Hanbali: Kulit binatang sembelihan tidak dapat digunakan untuk apapun jika binatang tersebut tidak halal dimakan. Jika binatang itu disembelih maka itu menjadi bangkai.

Maliki: t bai t diunakih mitu adi kai.an, kecuali kulit babi. Jika binatang buas atau anjing disembelih maka kulitnya suci, boleh diprjual-belikan, dan menyimpan air wudhu meskipun tidak disamak. Hanafi: seluruh bagiannya adalah suci, tetapi dagingnya haram. Hanafi dagingnya makruh.

Syafi’i: Rambut dan bulu bangkai selain manusia adalah najis. Maliki: Bulu termasuk bagian badan yang tidak pernah mati. Oleh karena itu hukumnya suci secara mutlak, baik ia dari binatang yang halal dagingnya, seperti kambing dan kuda,mapun dari binatang yang tidak halal dimakan, seperti keledai dan anjing. Ia pun berpendapat bahwa bulu anjing dan babi adalah suci, baik ketika masih hidup maupun setelah mati.

Pendapat paling shahih dari Hanbali: Rambut dan bulu anjing dan babi adalah suci. Demikian juga, menurut Hanafi seraya menambahkan bahwa tanduk, gigi, dan tulang adalah suci sebab tidak bernyawa.

Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri dan al-Awza’i bahwa rambut semua binatang adalah najis, ia dapat disucikan dengan dibasuh.

Para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya memanfa’atkan bulu babi untuk bantal. Hanafi dan Maliki memberikan keringanan. Syafi’i melarangnya, dan Hanbali memakruhkannya. Hanbali berpendapat: Bantal dari sabut lebih aku sukai.

Hanafi dan Maliki: Setiap binatang yang darahnya tidak mengalir seperti lebah, semut, kumbang, dan kalajengking jika mati pada benda yang basah maka menda itu tidak menjadi najis karena binatang itu sendiri adalah suci. Pendapat paling kuat dari Syafi’i dan Hanbali benda itu tidak menjadi najis, tetapi bangkai binatang itu sendiri adalah najis.

Syafi’i: Ulat yang muncul pada benda yang halal, apabila mati di dalamnya, tidak menjdaikannya najis, dan benda itu boleh dimakan bersama ulatnya.

Tiga imam mazhab: Binatang yang hidup di air, seperti katak, apabila mati di dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis. Hanafi: Air itu tidak menjadi najis.

Menurut Ijma, bangkai belalang dan ikan adalah suci. Adapun tentang mayat manusia, menurut Maliki, Hanbali, dan Syafi’i---menurut pendapat yang paling shahih, tidak najis. Hanafi: Mayat itu najis, tetapi bisa disucikan dengan dimandikan.

Orang junub, wanita haid, dan orang musyrik, apabila memasukan salah satu tangannya ke bejana berisi air sedikit---kurang dari dua qullah---maka air tersebut tetap suci. Demikian menurut ijma’.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

5. Sisa Makan dan Minum Binatang
Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali: Sisa makan atau minum anjing dan babi adalah najis, tetapi sisa makan atau minum binatang lain adalah suci. Pendapat paling shahih dari Hanbali: Sisa makan dan minum binatang buas adalah najis. Maliki: Sisa makan dan minum binatang itu adalah suci.

Tiga imam mazhab sepakat bahwa sisa minum baghal dan keledai adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Hanafi ragu, apakah ia dapat menyucikan. Pendapat yang paling shahih dari Hanbali: Hal itu najis.

Pentingnya mengetahui masalah ini adalah apabila seseorang tidak mendapatkan air---selain air sisa minum binatang---apakah ia berwudhu dengannya atau bertayamum.

Para Ulama sepakat tentang kesucian kucing dan binatang yang lebih kecil daripadanya. Hanafi: Sisa---makan dan minum---kucing adalah makruh. Sementara itu, al-Awza’i dan ats-Tsawi berpendapat bahwa sisa---makan dan minum--- binatang yang tidak dimakan dagingnya adalah najis, kecuali manusia.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

6. Najis Yang Dima’afkan
Pendapat paling shahih dari Syafi’i, mengatakan bahwa semua najis banyak ataupun sedikit, sama dalam hukum menghilangkannya. Tidak ada yang dima’afkan, kecuali yang sulit dihindari menurut kebiasaan, seperti darah jerawat, darah bisul, darah kudis, darah kutu, tahi lalat, tempat bercantuk, dan debu jalan. Maliki pun berpendapat demikian. Bahkan, ia mengatakan bahwa darah sedikit dimaa’afkan. Hanafi berpendapat bahwa darah kutu dan darah kepinding adalah suci. Selanjutnya, Hanafi menetapkan bahwa segala najis yang ukurannya lebih kecil daripada mata uang satu dirham dima’afkan.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

7. Benda yang Keluar dari Perut
Benda lunak yang keluar dari perut melalui dubur adalah najis. Hal ini disepakati para ulama. Namun, ada riwayat dari Hanafi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah suci.

Syafi’i: Air kencing dan tahi adalah najis secara mutlak. Maliki dan Hanbali: Air kencing dan kotoran binatang yang dagingnya dapat dimakan adalah suci.

Hanafi: Kotoran burung yang dagingnya dapat dimakan, seperti merpati dan pipit, adalah suci. Syafi’i dalam qaul qodim-nya: Kotoran selain kedua burung tersebut adalah najis.

Diriwayatkan dari an-Nakha’i bahwa air kencing semua binatang yang suci adalah suci.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

8. Mani
Hanafi dan Maliki: Mani manusia adalah najis. Maliki: Mani harus dibasuh dengan air, baik basah maupun kering. Hanafi: Mani dibasuh jika basah dan dikerik jika telah kering.

Pendapat paling shahih dari Syafi’i: Mani adalah suci secara mutlak, kecuali mani anjing dan babi. Sementara itu pendapat paling shahih dari Hanbali: Mani yang suci hanya mani manusia.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

9. Air yang Terkena Najis
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berwudu dari sumur yang telah kejatuhan bangkai. Hanafi: Apabila bangkai itu telah rusak maka shalatnya harus diulang selama tiga hari, sedangkan jika tidak rusak maka shalatnya diulang selama sehari semalam. Syafi’i dan Hanbali: Jika aitnya sedikit, hendaklah diulang shalat yang menurut perkiraannya dikerjakan dengan wudhu dari air tersebut. Sementara itu jika airnya banyak dan tidak berubah, maka shalatnya tidak wajib diulang. Namun, jika airnya berubah, shalatnya wajib diulangi sejak air itu berubah.

Maliki: Jika air itu berupa mata air dan tidak berubah sifat-sifatnya maka air itu suci dan shalatnya tidak wajib diulang. Sedangkan jika bukan mata air, Maliki mempunyai dua riwayat. Ibn Qasim, sahabat Maliki, memutlakkan kenajisannya.
--------------------------------------------------------->>>>>>>>>>>>>>>>>

10. Ragu tentang Mana yang Suci
Kalau keadaan air tidak jelas, suci atau najis, jika ada bejana-bejana yang sebagiannya suci dan sebagian lain terkena najis, bolehkah berijtihad atau memilih yang lebih pantas dalam hal ini?

Syafi’i: Ia boleh berijtihad dan berwudu dengan air yang dianggapnya suci. Hanbali: Jangan memilih yang dipandang, melainkan semuanya dituangkan atau dicampurkan, lalu bertayamum. Maliki---menurut sebuah riwayat: Orang ini tidak boleh memilih yang dianggapnya suci.

Jika orang itu mempunyai dua helai kain, yang satu suci dan yang lain najis, tetapi tidak diketahui mana yang suci, maka ia boleh memilih yang dianggapnya suci. Maliki dan Hanbali: Ia harus shalat dua kali; sekali dengan kain pertama dan sekali lagi dengan kain kedua. Hanafi dan Syafi’i: Ia harus memilih salah satu dari keduanya.

----------------------------------------ALLOHU 'ALAM------------------------------------------
-----------------------------WASSALAMU'ALAKUM WR.WB ------------------------

PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN 

PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH

MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda

No Rekening : 0050161952  a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar