1.
Kencing, B-A-B, dan Keluar Mani
Menurut ijma, air kencing dan
kotoran yang keluar dari dua saluran---qubul dan dubur---membatalkan wudu.
Adapun, sesuatu yang jarang terjadi, seperti keluar ulat dari dubur, keluar
angin dari qubul (kemaluan), batu, darah, dan masih juga membatalkan wudu,
kecuali menurut Maliki. Sedangkan Hanafi mengecualikan angin yang keluar dari
kemaluan yang menurutnya tidak membatalkan wudu.
Keluar
mani:
- Tiga imam mazhab: keluar mani membatalkan wudu.
- Syafi’i: Tidak membatalkan wudu, tetapi mewajibkan mandi.
- Hanafi:
Semua itu, termasuk keluarnya mani, membatalkan wudu.
2.
Menyentuh kemaluan
Para Imam Madhab sepakat bahwa
orang yang menyentuh kemaluannya dengan selain tangan, wudhunya tidak batal.
Mereka berbeda pendapat tentang
orang yang meyentuh kemaluandengan tangan;
- Hanafi;
Hal tsb tidak membatalkan wudhu secara mutlak, dengan sisi mana saja ia
mnyentuh.
- Syafi’i;
Hal itu membatalkan wudhu jika sentuhannya dengan telapak tangan bagian dalam
tanpa penghalang, baik disertai syahwat maupun tidak, bila menyentuh dengan
menggunakan punggung tangan maka tidak membatalkan wudhu.
- Hambali;
Hal itu membatalkan wudhu, baik sentuhannya menggunakan bagian dalam tangan
maupun luar.
- Maliki;
Jika sentuhannya disertai syahwat maka hal itu membatalkan wudhu, bila tidak
maka tidak batal.
Menyentuh kemaluan orang lain?
- Syafi’i
dan Hambali; tidak membatalkan wudu, baik orang yang menyentuh maupun yang
disentuh, kecil atau dewasa, hidup maupun sudah mati.
- Maliki;
Hal tersebut tidak membatalkan wudhu bila yang yang menyentuhnya anak kecil.
- Hanafi;
siapapun yang disentuhnya tidak membatalkan wudhu.
Apakah orang yang disentuh kemaluannya, wudhunya batal?
- Maliki; wudhunya
batal.
- Hanafi, Syafi’i, dan Hambali; wudhunya tidak batal.
Empat imam madzhab sepakat bahwa
menyentuh biji testis tidak membatalkan wudhu, meskipun tanpa penghalang.
Menyentuh amrad (anak muda belia)?
- Hanafi dan Hambali; tidak wajib wudhu karena menyentuh amrad (anak muda belia) meskipun disertai syahwat.
- Maliki dan Syafi’i; wajib berwudhu karenanya.
Memegang dubur?
- Hanafi dan Maliki; tidak membatalkan wudhu.
- Syafi’i
dan Hambali membatalkan wudhu. (Namun diriwayat lain dari mereka, hal itu tidak
membatalkan wudhu).
3. Bersentuhan
Kulit Laki-laki dan Perempuan
Hukum
laki-laki yang menyentuh perempuan?
- Syafi’i; hal itu membatalkan wudhu dalam keadaan apapun jika tanpa penghalang kecuali mahrom.
- Maliki
dan Hambali; wudhunya batal jika sentuhan tersebut disertai syahwat, jika tidak
dengan syahwat maka tidak batal.
- Hanafi;
Hal itu tidak membatalkan wudhu, kecuali bila memegang dzakar dalam kondisi
tegang , baik tegang karena disengaja maupun tidak.
Muhammad
bin al-Hasan---seorang murid terkemuka Hanafi---berpendapat;
wudhunya
tidak batal walau dalam kondisi tegang.
Atha’
berpendapat;
jika
seorang menyentuh perempuan asing---bukan mahrom---wudhunya batal. Tetapi jika
perempuan itu adalah halal baginya, seperti isteri dan budak wanita, maka
wudhunya tidak batal.
- Syafi’i
dan Maliki; Orang yang menyentuh dan disentuh sama saja batal wudhunya.
- Hambali;
terdapat dua riwayat---satu membatalkan dan lainnya tidak.
4. Tidur
Para imam madzhab sepakat bahwa
tidur berbaring dan bersandar dapat membatalkan wudhu. Tentang orang yang
tertidur dalam shalat, misalnya ketika ruku’?
- Hanafi; hal itu tidak membatlkan wudhu meskipun tidurnya lama. Namun bila ia rebah ke depan atau ke belakang maka wudhunya batal.
- Maliki; Tidur ketika ruku’ atau sujud jika lama, membatalkan wudhu. Jika tidur ketika beridiri atau duduk maka wudhunya tidak batal.
- Syafi’i
dalam qoul jadid; Jika tidurnya di tempat duduknya maka tidak batal. Namun jika
tidak, wudhunya batal. Sedangkan dalam qoul qodim, ia berpendapat bahwa tidur
dalam kondisi apapun di dalam shalat tidak membatalkan wudhu. ---Tidak ada perbedaan antara tidur lama dan
sebentar, meskipun ia bermimpi , selama pantatnya tetap melekat pada tempat
duduknya. Sebab tidur itu sendiri bukan hadats, melainkan dimungkinkan
timbulnya hadats.
- Hambali;
Jika tidurnya ketika berdiri, duduk, ruku’, dan sujud itu lama maka batal. (Menurut
al-Khathabi; inilah pendapat paling shahih dari dua riwayat Hambali).
- Syafi’i dan Maliki; Najis yang dikeluarkan dari badan selain dubur dan qubul seperti darah dari hidung, muntah, dan darah berbekam tidak membatalkan wudhu.
- Hanafi; wajib wudhu karena keluar darah yang
mengalir dan muntah yang memenuhi mulut.
- Hambali; Muntah yang banyak membatalkan
wudhu, sedangkan tentang muntah yang
banyak ada dua riwayat.
Menurut ijma; tertawa
terbahak-bahak di dalam shalat membatalkan shalat. Namun apakah itu membatalkan
wudhu?
-
Maliki, Hambali, dan Syafi’i; tidak membatalkan
wudhu.
- Hanafi; membatalkan wudhu.
Menurut ijma’; memakan makanan yang dimasak dengan
api, seperti nasi dan roti, tidak membatalkan wudhu. Namun diriwayatkan dari
sebagian sahabat, seperti Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Zaid bin Tsabit, bahwa
mereka mewajibkan wudhu.
- Hanafi, Maliki, dan Syafi’idalam qoul jadid; memakan daging unta tidak membatalkan wudhu.
- Hambali; membatalkan wudhu. Pendapat ini sesuai
dengan qoul qodim Syafi’i dan yang dipilih para sahabatnya.
Memandikan mayyit dpt
membatalkan wudhu?
-
Tiga imam madzhab; tidak membatalkan wudhu.
- Hambali; hal itu membatalkan wudhu.
Para imam sepakat bahwa orang
yang yakin telah bersuci, lalu timbul keraguan tentang kesuciannya, maka
ditetapkan suci. Maliki; menurut lahiriah ia tidak suci dan harus berwudhu
lagi.
Al-hasan berpendapat; jika
keraguaannya muncul ketika shalat, hendaklah ia memilih apa yang diyakininya,
lalu meneruskan shalatnya. Namun jika keraguan muncul di luar shalat, hendaklah
ia mengambil yang meragukan, yakni berwudhu lagi.
Ø Menyentuh
Mushaf;
Menurut
ijma tidak boleh menyentuh mushaf (al-Qur’an) dan membawanya bagi orang yang
berhdats.
Ada
riwayat dari Dawud dan lain-lain bahwa mereka membolehkannya.
Boleh membawanya
dengan cara dibungkus dan digantungkan, kecuali menurut Syafi’i; boleh membawa
Al-Qur’an bersama benda lain atau bersama tafsir atau dinar (uang), dan boleh
juga membuka lembaranny dengan kayu.
Ø Buang
Hajat
- Syafi’i, Maliki, dan Hambali dalam riwayatnya yang paling masyhur: menghadap ke arah Kiblat dan membelakanginya ketika buang air di tanah lapang adalah haram.
- Hanafi dan Hambali---dalam riwayat lain; buang
air menghadap Kiblat atau membelakanginya, baik di tanah lapang atau di dalam
bangunan adalah makruh.
Ø Istinja’
- Maliki, Syafi’i, dan Hambali dalam satu riwayat:
Istinja’adalah wajib. Namun dalam
riwayat lain dari Maliki; sah shalat seorang tanpa istinja’.
- Hanafi; istinja’ adalah sunnah, tidak wajib.
Demikian juga menurut riwayat lain dari Maliki. Menurut Hanafi; jika seseorang
shalat tanpa istinja’ maka shalatnya sah. Yang wjib dihilangkan adalah yang
lebih dari ukuran uang dirham.
Tidak boleh beristinja’ dengan
menggunakan batu yang kurang dari tiga buah, walaupun sudah bersih. Adapun yang
dimaksud dengan tiga batu adalah tiga kali sapuan. Maka, apabila batu tersebut
memiliki tiga buah sudut, sudahlah cukup jika dapat membersihkannya. Namun,
jika batu yang bersudut tiga itu tidak dapat membersihkan, maka bagian itu
harus disapu dengan batu keempat, kelima, dst.
- Hanafi dan maliki; yang diperlukan adalah kebersihannya, dan tidak disukai menggunakan lebih dari tiga buah batu.
- Syafi’I dan Hambali; tidak boleh bristinja’
dengan tulang dan kotoran hewan. Hanafi dan Maliki; kedua benda itu memadai, tetapi
lebih disukai dengan tidak menggunakannya.
-------------------- ALLOHU
'ALAM--------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------
----------------------------------- Wassalamu'alaikum wrwb-------------------------------
PANITIA PEMBEBASAN TANAH DAN PEMBANGUNAN PONDOK PESANTREN TAKWIENUL UMMAH
MENERIMA & MENGELOLA ZAKAT, INFAQ, SHODAQOH, WAKAF, HIBAH anda
No Rekening: 0050161952 BANK SYARI'AH MANDIRI
a/n YAYASAN TAKWIENUL UMMAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar